AKSARA EDITORIALKebudayaanLingkunganSASTRAWARGA

Bibit Lokal Kalteng Terancam Punah

AKSARABORNEO.COM, PALANGKA RAYA – Peladang di Kalimantan Tengah (Kalteng) tercekik oleh kebijakan Pemerintah setempat, dituding biang kerok kebakaran lahan dan tak sedikit mereka ditangkap masuk jeruji besi. Kini sisa Peladang itu menolak punahnya pangan lokal, melakukan perlawanan akar rumput.

Tumpukan gabah, sayuran dan buah yang terlihat diatas tampi di sebuah halaman rumah panggung, setelah jemari kaki menapaki tangga yang terbuat dari kayu di Desa Tumbang Samui, Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kepala Desa, Yanto Soepa menjelaskan semua itu adalah hasil ladangnya, sebagian disimpandi Bank Benih dan selebihnya untuk dimakan sekeluarga.

Menurutnya, berladang atau Malan dalam bahasa Dayak Ngaju tak terpisah dari kehidupan masyarakat Dayak di Kalteng. Karena mengandung tradisi kearifan lokal dari leluhur, tak hanya itu berladang merupakan salah satu cara mereka berdaulat atas pangan yang kaya nutrisi.

“Kami tetap berladang. Pertama untuk menjaga beragam benih lokal agar tidak punah. Lalu hasil ladang cukup untuk makan sehari-hari tidak perlu memberi beras,” kata Yanto Soepa, Minggu (17/3/2024).

Jika sekeluarga menghabiskan 1 kg beras, per kilo Rp 15 ribu maka dalam sepuluh tahun Yanto Soepa sedikitnya dapat menghemat uang Rp 54 juta. Jumlah itu cukup untuk biaya kuliah satu anak di Universitas Gajah Mada (UGM) jalur uang kuliah tunggal Pendidikan unggul subsidi 50 persen.

Pagi itu Yanto Soepa mengajak kami di ladangnya, setelah dia bersama istrinya pergi ke gereja. Kisaran 10 menit kami menuju pinggiran hutan dengan mengendarai kendaraan bermotor dilanjutkan berjalan kaki melewati Kaleka atau perkebunan masyarakat lokal.

Rimbunan pohon bermandi cahaya pagi waktu itu, terasa lembab dan sejuk. Melihat buah Cimpedak dalam bahasa latin Artocarpus integer, Yanto Soepa menebaskan parang memotong tangkai buah Cimpedak. Buahnya Terasa manis saat menyentuh lidah, menambah tenaga kami melangkah.

Setelah 20 menit berjalan sungai kecil terlihat pertanda tempat ladang sudah dekat. Dari kejauhan tanaman padi terlihat sudah membumbung sepinggang orang dewasa. Yanto Soepa bergegas merampungkan pondok beralas anyaman bambu dibuatnya.

Dalam berladang mereka menerapkan Handep atau gotong royong saling berbalas budi dengan sesama warga lainnya menggarap ladang. Karena jika satu keluarga saja yang berladang, pengalaman mereka padi yang sudah mulai berberbulir kerap diserang hama walang sangit sampai burung pipit.

Dia menilai cara berladang masyarakat Dayak di Kalteng sesuai kearifan lokal turun- temurun. Meskipun membakar lahan guna pupuk alami tanah, masyarakat lokal mengetahui cara agar api tidak merambat luas sesuai lahan yang sudah diberikan tanda untuk berladang.

“Tidak takut (berladang). Kalau bukan kita siapa lagi (melestarikan),” tegas Yanto Soepa.

Semenjak pemerintah Kalteng menerbitkan peraturan yang tak berpihak kepada berladang merujuk Perda Nomor 5 Tahun 2011, Perda Nomor 3 Tahun 2020 dan Perda Nomor 1 tahun 2020. Peladang mengalami lara ketakutan berladang. Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di tahun 2019 terdapat 35 orang peladang ditangkap.

Sekarang hanya beberapa peladang yang masih mau berladang di Tumbang Samui, mereka berladang didampingi oleh Yayasan Borneo Istitute (BIT). Sadar akan ancaman punahnya bibit lokal, para peladang dihimpun untuk menabung benih lokal dari padi, sayuran dan buah.

Manajer Departemen Pertanian BIT, Standy Christianto mengatakan, Rumah Benih Lokal atau Huma Binyi dalam bahasa Dayak Ngaju nama itu terinspirasi dari Lusuk Pare atau lumbung padi yang ada di setiap desa adat sebelum revolusi hijau 1980an.

“Rumah Benih ini adalah sebagai pusat informasi dan pertukaran pengetahuan antar petani di Kecamatan Manuhing Raya khususnya dan di Kalteng pada umumnya,” jelasnya.

Menurutnya, masyarakat lokal dalam pengumpulan benih lokal hingga penanaman masih menggunakan kearifan lokal yang dilakukan oleh generasi tua. Namun memiliki tantangan apakah generasi selanjutnya mau menajutkan estafet budaya tersebut yang kian terkikis.

Hadirnya Rumah Benih, diharapkan benih pangan lokal tidak punah begitu saja ditelan waktu. Selain itu, pengetahuan proses dari awal hingga panen dan kembali menjadi benih lagi berkelanjutan terarsipkan.

Ada beberapa metode yang digunakan Rumah Benih dalam menghimpun benih pangan lokal, pertama masyarakat datang sendiri di kantor BIT, Tumbang Samui. Kedua anggota BIT datang langsung ke peladang maupun petani.

Benih pangan lokal yang disimpan di Bank Benih diuji atau disortir kelayakan simpannya, setalah itu dicatat detail, dari nama benih, nama peladang atau petani, tanggal penyimpanan hingga informasi penggunaan benih.

Masyarakat yang ingin mengambil benih-benih pangan lokal wajib mengembalikan benih berjumlah yang sama dengan yang diambil, bertujuan merawat dan menjaga benih pangan lokal.

Ahmadi seorang peladang merasakan sulitnya mencari benih lokal, karena peladang-peladang tidak konsisten berladang salah satu dampak kebijakan pemerintah. Untuk mendapatkan benih dia sampai mencari ke Kabupaten Katingan.

Senada dengan Weriwatie, dia berhenti berladang saat peladang tidak boleh membakar saat membuka lahan beberapa tahun lalu. Membuatnya bingung, karena hasil berladang sangat membantunya memenuhi nutrisi keluarganya.

“Jadi akhirnya bingung. Bagaimana kamu bisa berladang kembali? Karena dengan berladang sangat membantu sekali. Mulai dari sayur, bumbu-bumbu. Padi dan beras tidak membeli,” kata Weriwatie mengutip arsip video BIT (29/7/2022).

Rumah Benih membantu mereka untuk berladang lagi. Di tahun 2024, BIT mencatat sedikitnya ada 125 benih pangan lokal. Dari sayuran, buah hingga padi. Jumlah tersebut semakin bertambah tiap tahunnya.

Beberapa benih pangan lokal kini sebagian disimpan di kantor BIT, sebagian lagi disimpan di banker es bekerja sama dengan organisasi nirlaba di Jerman, The Crop Trust bertujuan penyimpanan benih tahan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Sebagai informasi, Tumbang Samui berjarak 180 km dari Kota Palangka Raya, jika ditempuh jalur darat memakan waktu 4 jam. belum terjamah listrik dari PLN, meski sebelah rumah Yanto Soepa menjulang tower proyek mangkrak dari salah satu kementerian di Indonesia yang sempat tersandung kasus korupsi.

AKSARABORNEO.COM, PALANGKA RAYA – Peladang di Kalimantan Tengah (Kalteng) tercekik oleh kebijakan Pemerintah setempat, dituding biang kerok kebakaran lahan dan tak sedikit mereka ditangkap masuk jeruji besi. Kini sisa Peladang itu menolak punahnya pangan lokal, melakukan perlawanan akar rumput.

Tumpukan gabah, sayuran dan buah yang terlihat diatas tampi di sebuah halaman rumah panggung, setelah jemari kaki menapaki tangga yang terbuat dari kayu di Desa Tumbang Samui, Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kepala Desa, Yanto Soepa menjelaskan semua itu adalah hasil ladangnya, sebagian disimpandi Bank Benih dan selebihnya untuk dimakan sekeluarga.

Menurutnya, berladang atau Malan dalam bahasa Dayak Ngaju tak terpisah dari kehidupan masyarakat Dayak di Kalteng. Karena mengandung tradisi kearifan lokal dari leluhur, tak hanya itu berladang merupakan salah satu cara mereka berdaulat atas pangan yang kaya nutrisi.

“Kami tetap berladang. Pertama untuk menjaga beragam benih lokal agar tidak punah. Lalu hasil ladang cukup untuk makan sehari-hari tidak perlu memberi beras,” kata Yanto Soepa, Minggu (17/3/2024).

Jika sekeluarga menghabiskan 1 kg beras, per kilo Rp 15 ribu maka dalam sepuluh tahun Yanto Soepa sedikitnya dapat menghemat uang Rp 54 juta. Jumlah itu cukup untuk biaya kuliah satu anak di Universitas Gajah Mada (UGM) jalur uang kuliah tunggal Pendidikan unggul subsidi 50 persen.

Pagi itu Yanto Soepa mengajak kami di ladangnya, setelah dia bersama istrinya pergi ke gereja. Kisaran 10 menit kami menuju pinggiran hutan dengan mengendarai kendaraan bermotor dilanjutkan berjalan kaki melewati Kaleka atau perkebunan masyarakat lokal.

Rimbunan pohon bermandi cahaya pagi waktu itu, terasa lembab dan sejuk. Melihat buah Cimpedak dalam bahasa latin Artocarpus integer, Yanto Soepa menebaskan parang memotong tangkai buah Cimpedak. Buahnya Terasa manis saat menyentuh lidah, menambah tenaga kami melangkah.

Setelah 20 menit berjalan sungai kecil terlihat pertanda tempat ladang sudah dekat. Dari kejauhan tanaman padi terlihat sudah membumbung sepinggang orang dewasa. Yanto Soepa bergegas merampungkan pondok beralas anyaman bambu dibuatnya.

Dalam berladang mereka menerapkan Handep atau gotong royong saling berbalas budi dengan sesama warga lainnya menggarap ladang. Karena jika satu keluarga saja yang berladang, pengalaman mereka padi yang sudah mulai berberbulir kerap diserang hama walang sangit sampai burung pipit.

Dia menilai cara berladang masyarakat Dayak di Kalteng sesuai kearifan lokal turun- temurun. Meskipun membakar lahan guna pupuk alami tanah, masyarakat lokal mengetahui cara agar api tidak merambat luas sesuai lahan yang sudah diberikan tanda untuk berladang.

“Tidak takut (berladang). Kalau bukan kita siapa lagi (melestarikan),” tegas Yanto Soepa.

Semenjak pemerintah Kalteng menerbitkan peraturan yang tak berpihak kepada berladang merujuk Perda Nomor 5 Tahun 2011, Perda Nomor 3 Tahun 2020 dan Perda Nomor 1 tahun 2020. Peladang mengalami lara ketakutan berladang. Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di tahun 2019 terdapat 35 orang peladang ditangkap.

Sekarang hanya beberapa peladang yang masih mau berladang di Tumbang Samui, mereka berladang didampingi oleh Yayasan Borneo Istitute (BIT). Sadar akan ancaman punahnya bibit lokal, para peladang dihimpun untuk menabung benih lokal dari padi, sayuran dan buah.

Manajer Departemen Pertanian BIT, Standy Christianto mengatakan, Rumah Benih Lokal atau Huma Binyi dalam bahasa Dayak Ngaju nama itu terinspirasi dari Lusuk Pare atau lumbung padi yang ada di setiap desa adat sebelum revolusi hijau 1980an.

“Rumah Benih ini adalah sebagai pusat informasi dan pertukaran pengetahuan antar petani di Kecamatan Manuhing Raya khususnya dan di Kalteng pada umumnya,” jelasnya.

Menurutnya, masyarakat lokal dalam pengumpulan benih lokal hingga penanaman masih menggunakan kearifan lokal yang dilakukan oleh generasi tua. Namun memiliki tantangan apakah generasi selanjutnya mau menajutkan estafet budaya tersebut yang kian terkikis.

Hadirnya Rumah Benih, diharapkan benih pangan lokal tidak punah begitu saja ditelan waktu. Selain itu, pengetahuan proses dari awal hingga panen dan kembali menjadi benih lagi berkelanjutan terarsipkan.

Ada beberapa metode yang digunakan Rumah Benih dalam menghimpun benih pangan lokal, pertama masyarakat datang sendiri di kantor BIT, Tumbang Samui. Kedua anggota BIT datang langsung ke peladang maupun petani.

Benih pangan lokal yang disimpan di Bank Benih diuji atau disortir kelayakan simpannya, setalah itu dicatat detail, dari nama benih, nama peladang atau petani, tanggal penyimpanan hingga informasi penggunaan benih.

Masyarakat yang ingin mengambil benih-benih pangan lokal wajib mengembalikan benih berjumlah yang sama dengan yang diambil, bertujuan merawat dan menjaga benih pangan lokal.

Ahmadi seorang peladang merasakan sulitnya mencari benih lokal, karena peladang-peladang tidak konsisten berladang salah satu dampak kebijakan pemerintah. Untuk mendapatkan benih dia sampai mencari ke Kabupaten Katingan.

Senada dengan Weriwatie, dia berhenti berladang saat peladang tidak boleh membakar saat membuka lahan beberapa tahun lalu. Membuatnya bingung, karena hasil berladang sangat membantunya memenuhi nutrisi keluarganya.

“Jadi akhirnya bingung. Bagaimana kamu bisa berladang kembali? Karena dengan berladang sangat membantu sekali. Mulai dari sayur, bumbu-bumbu. Padi dan beras tidak membeli,” kata Weriwatie mengutip arsip video BIT (29/7/2022).

Rumah Benih membantu mereka untuk berladang lagi. Di tahun 2024, BIT mencatat sedikitnya ada 125 benih pangan lokal. Dari sayuran, buah hingga padi. Jumlah tersebut semakin bertambah tiap tahunnya.

Beberapa benih pangan lokal kini sebagian disimpan di kantor BIT, sebagian lagi disimpan di banker es bekerja sama dengan organisasi nirlaba di Jerman, The Crop Trust bertujuan penyimpanan benih tahan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Sebagai informasi, Tumbang Samui berjarak 180 km dari Kota Palangka Raya, jika ditempuh jalur darat memakan waktu 4 jam. belum terjamah listrik dari PLN, meski sebelah rumah Yanto Soepa menjulang tower proyek mangkrak dari salah satu kementerian di Indonesia yang sempat tersandung kasus korupsi.

Related Articles

Back to top button